Seingat saya, sejak kecil ibu saya ngga pernah ngga punya pembantu, atau sekarang disebut Asisten Rumah Tangga (ART). Ada satu masa di mana satu keluarga turun temurun jadi ART di rumah ibu saya. Mulai dari Ibunya sampai anak bungsunya. Kami sampai kini menganggap mereka saudara sendiri.
Setelah generasi keluarga itu, entah sudah berapa kali Ibu saya gonta ganti asisten, sampai kira-kira 8 tahun lalu akhirnya menemukan asisten yang cocok.
Manjakah kami? Sedikit banyak, hehe.
Untunglah, tradisi keluarga mengharuskan anak-anak selepas SD masuk pesantren. Mau ngga mau kami belajar nyuci, nyetrika, masak, dan mengatur keuangan sendiri. Walaupun ketika kembali ke rumah, kami serahkan kembali urusan rumah tangga kepada asisten. Bisa sih bisa, tapi males gitu.
Jadi, kalau saya selalu dibilang males sama orang-orang, ya, gimana dong, didikannya begitu, haha. Pembenaran itu memang manis rasanya, ya.
Saat menikah setahun saya tinggal di mertua yang ngga punya asisten. Mau ngga mau nyuci dan nyetrika lagi deh. Ngga tiap hari. Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari, lebih sering lagi masuk laundry. Masak mah ngga pernah, ngga boleh sama nenek.
Pindah dari mertua, saya hamil. Periode awal kehamilan yang mengkhawatirkan mengharuskan suami mencarikan saya asisten. Praktis, kerjaan saya cuma online, tidur, jalan-jalan, dan muntah-muntah.
Seterusnya saya selalu punya asisten (tiga kali ganti karena pindah rumah). Apalagi sempat baru pertama kali punya bayi dan sempat kena baby blues. Sampai dua bulan lalu saya nekad memecat sang asisten. Habis gimana lagi, daripada ngebatin sama kerjaannya yang ngga bersih, sikapnya yang sering bikin saya jengkel, dan mulutnya yang ngga terkontrol.
Alhamdulillah, sekarang saya bisa mengatur rumah tangga sendiri. Mungkin inilah kekuatan tekad. Biasanya kalau asisten ngga masuk saya uring-uringan, merasa kerjaan ngga beres-beres. Sekarang saya santai saja menyelesaikan semuanya. Kuncinya cuma satu, step by step. Nyantai aja, ngga usah dibawa rusuh. Plus kerjanya sesuai dengan waktu tidur Koosha.
Alhamdulillah lagi, nyuci bisa tiap hari, beberes tiap hari, masak nyaris tiap hari (kecuali gas habis dan tukang sayur ngga lewat). Nyetrika? Ini yang belum saya bisa tiap hari. Jadi ditumpuk aja sampai wiken. Sabtu Minggu dirapel deh. Kalau butuh baju mau dipake, langsung setrika saat itu juga.
Apa yang membuat saya berubah? Entahlah. Mungkin ada rasa tanggung jawab kali, ya. Kalau ngga nyuci, gimana kalau Koosha dan ayahnya kehabisan baju. Kalau ngga masak, mereka ngga makan dong. Kalau ngga beberes, nanti rumah banyak kuman, kan kasihan Koosha. Dan lain sebagainya.
Another alhamdulillah, meski banyak kerjaan saya masih bisa menyenangkan diri sendiri. Masih bisa online, masih bisa jalan-jalan, masih bisa motret, dan terutama masih bisa main sama Koosha.
Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa alih. Harus baca sholawat nih, biar ngga ketulah. Takut sekarang posting bilang rajin, besok mendadak males.
Panjang, ya, kisahnya. Tamat ah.