Thursday, January 29, 2009

Percakapan Bodoh

Dengan malu saya mengakui bahwasanya kemerdekaan itu hak segala bangsa, eh, maksudnya, saya mengakui bahwa saya bukan jenis ibu yang sabar dan telaten. Ketidaksabaran inilah yang membuat saya sering perang sama Koosha, terutama saat habis mandi dan mau bersihin pup-nya. Hadoooh, teu daek cicing pisan alias ngga bisa diem!

Dalam perang itu saya sering melakukan percakapan-percakapan bodoh dengannya seperti,

Saya: (melotot) Koosha, diem! NGERTI NGGA SIH, nanti kotor kemana-mana nih bekasnya.
Koosha: Hellooooooooooow, i'm only a baby, mom! How can i understand? Daaaa?! Are you stupid or what?!

Atau,

Saya: (kaget) Ya ampun, minum minyak telon lagi, de? Kemaren sampe muntah-muntah kok sekarang diminum lagi? NGGA KAPOK?
Koosha: (menatap sinis) Ya, ilah, bu, Ibu juga ngga kapok-kapok bikin dosa.

Huhuhu, gemeeeeeeeeesh rasanya.

Tapi, biasanya sesudah perang saya merasa bersalah. Apalagi kalau tiba-tiba dia menatap saya dan tertawa manja minta dipeluk. Duh...hilang semua kesal di hati ini. Amazing.




Si jahil dari gua hantu yang hari ini berusia 10 bulan






Sunday, January 25, 2009

Tanda-tanda Kegalingan


Oke, sepertinya belum cukup wajah cetakan Abah mertua, kulit dan bibir cetakan Ayahnya, sekarang rambut pun menunjukkan dominasi gen keluarga bandung: GALING alias keriting. Kali ini sumbangan dari Mamah mertua.

Well, mudah-mudahan cuma ikal ngga sampe keriting banget, ya. No offense buat yang punya rambut keriting. Tapi, kan jadi aneh kalau ayah ibunya punya rambut lurus kaya sapu ijuk anaknya rambutnya galing, nanti disangka anak tetangga lagi.

Friday, January 23, 2009

Enviromental Awareness


Koosha makan apa, sih?

Nasi?
Bukan.

Biskuit?
Bukan.

Apel?
Bukan.

Kerupuk?
Bukan.

Batu?
Errr, itu kadang-kadang, tapi bukan.

Apa dong?
Kertas.

Yup, Koosha lagi hobi makan kertas. Dikasih pilihan antara kertas dan batu malah milih kertas. Batu kan tidak membuat pohon habis ditebang (ya, iya, lah, memangnya batu terbuat dari pohon). Sepertinya anak saya harus segera diajarkan cinta lingkungan, daripada hobi makan kertasnya bikin Jakarta ngga bebas-bebas dari banjir.


Tuesday, January 20, 2009

Kisah Si Upik Abu

Seingat saya, sejak kecil ibu saya ngga pernah ngga punya pembantu, atau sekarang disebut Asisten Rumah Tangga (ART). Ada satu masa di mana satu keluarga turun temurun jadi ART di rumah ibu saya. Mulai dari Ibunya sampai anak bungsunya. Kami sampai kini menganggap mereka saudara sendiri. 


Setelah generasi keluarga itu, entah sudah berapa kali Ibu saya gonta ganti asisten, sampai kira-kira 8 tahun lalu akhirnya menemukan asisten yang cocok.

Manjakah kami? Sedikit banyak, hehe.

Untunglah, tradisi keluarga mengharuskan anak-anak selepas SD masuk pesantren. Mau ngga mau kami belajar nyuci, nyetrika, masak, dan mengatur keuangan sendiri. Walaupun ketika kembali ke rumah, kami serahkan kembali urusan rumah tangga kepada asisten. Bisa sih bisa, tapi males gitu. 

Jadi, kalau saya selalu dibilang males sama orang-orang, ya, gimana dong, didikannya begitu, haha. Pembenaran itu memang manis rasanya, ya.

Saat menikah setahun saya tinggal di mertua yang ngga punya asisten. Mau ngga mau nyuci dan nyetrika lagi deh. Ngga tiap hari. Kadang dua hari sekali, kadang tiga hari, lebih sering lagi masuk laundry. Masak mah ngga pernah, ngga boleh sama nenek. 

Pindah dari mertua, saya hamil. Periode awal kehamilan yang mengkhawatirkan mengharuskan suami mencarikan saya asisten. Praktis, kerjaan saya cuma online, tidur, jalan-jalan, dan muntah-muntah. 

Seterusnya saya selalu punya asisten (tiga kali ganti karena pindah rumah). Apalagi sempat baru pertama kali punya bayi dan sempat kena baby blues. Sampai dua bulan lalu saya nekad memecat sang asisten. Habis gimana lagi, daripada ngebatin sama kerjaannya yang ngga bersih, sikapnya yang sering bikin saya jengkel, dan mulutnya yang ngga terkontrol. 

Alhamdulillah, sekarang saya bisa mengatur rumah tangga sendiri. Mungkin inilah kekuatan tekad. Biasanya kalau asisten ngga masuk saya uring-uringan, merasa kerjaan ngga beres-beres. Sekarang saya santai saja menyelesaikan semuanya. Kuncinya cuma satu, step by step. Nyantai aja, ngga usah dibawa rusuh. Plus kerjanya sesuai dengan waktu tidur Koosha.

Alhamdulillah lagi, nyuci bisa tiap hari, beberes tiap hari, masak nyaris tiap hari (kecuali gas habis dan tukang sayur ngga lewat). Nyetrika? Ini yang belum saya bisa tiap hari. Jadi ditumpuk aja sampai wiken. Sabtu Minggu dirapel deh. Kalau butuh baju mau dipake, langsung setrika saat itu juga. 

Apa yang membuat saya berubah? Entahlah. Mungkin ada rasa tanggung jawab kali, ya. Kalau ngga nyuci, gimana kalau Koosha dan ayahnya kehabisan baju. Kalau ngga masak, mereka ngga makan dong. Kalau ngga beberes, nanti rumah banyak kuman, kan kasihan Koosha. Dan lain sebagainya.

Another alhamdulillah, meski banyak kerjaan saya masih bisa menyenangkan diri sendiri. Masih bisa online, masih bisa jalan-jalan, masih bisa motret, dan terutama masih bisa main sama Koosha. 

Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa alih. Harus baca sholawat nih, biar ngga ketulah. Takut sekarang posting bilang rajin, besok mendadak males. 

Panjang, ya, kisahnya. Tamat ah.


Monday, January 19, 2009

Makasih, Bu, Jadi Geer, Nih

Kemarin Minggu, saya diajak lumba-lumba nengokin isteri Bosnya yang baru aja ngelahirin. Anaknya perempuan. Lucu, mirip banget ke ibunya (so far sih). Sayang, si Bos ngga ada jadi yang nerima sang isteri dan ibu mertuanya. Ibu mertuanya baik loh. Ramah dan bisa melihat kenyataan serta mampu berkata jujur, seperti ini:


Ibu mertuanya: Euleuh, euleuh..meuni gendut pisan ieu budak (nowel koosha)
Saya: Iya, bu, alhamdulillah, sekarang lagi doyan makan.
Ibu mertuanya: Berapa kilo, neng?
Saya: Sok lah bu, 10 ribu tiga kilo (loh?) errr..maksud saya 10kilo, bu. ..
Ibu mertuanya: Euleuh, euleuh, anaknya meuni montok ibunya mah kecil...

KECIL? saya dibilang KECIL? Yihaaaaaaaaaaaa! Aduh, bu, cup, cup mmuah, mmuach deh buat ibu. 

Alhamdulillah, setelah memecat pembantu dua bulan lalu, berat jadi turun lima kilo. Dan sekarang tinggal sekilo dari sebelum hamil. Gosh, it was a long journey. Naik sampe 22 kilo, butuh 9 bulan untuk menurunkannya. Tapi teuteup teu bisa make baju yang dulu, bentuk badannya jadi beda sih *sigh*



 

Sunday, January 18, 2009

Perkenalkan, Nama Saya Kerupuk




Hai, nama saya kerupuk. Sekarang saya makanan favorit Koosha. Kalau Koosha makan ngga ada saya, suka ngga habis makannya. Tapi kalau ada saya, dijamin lahap deh.  Sayangnya, Ibunya Koosha teledor, malas, dan terlalu cuek. Harusnya kan saya digoreng sendiri, ini malah beli terus. Dasar emak edun!


gambar diambil dari sini.

Saturday, January 17, 2009

Son, How We Love Ayah, Eh?



Ayah: (menyodorkan bingkisan) Bu, masa kita ngasih ini sih? 
Ibu:  (mengernyit) Emangnya kenapa? 
Ayah: Anaknya perempuan bukan laki-laki *ya iyalah, masa hermafrodit*
Ibu: (makin ngga ngerti)  Lalu?
Ayah: Inikan tulisannya GENTLE.
Ibu: Heh? Ayah, itu gentle yang artinya LEMBUT, bukan kepanjangan dari GENTLEMAN!
Ayah: (garuk-garuk kepala) Ooh..kirain...
Ibu: Bwahahahahahahaha...



Monday, January 12, 2009

Bisa Duduk, Yippie!


Waktu nenek dateng lihat Koosha ngangsrod dengan kemiringan 45 derajat (heh?) dia bilang Koosha akan cepet duduk. And she's rite. Seminggu kemudian Koosha bisa duduk, wooohooo...

Sudah lama Koosha bisa mundur-mundur, mungkin waktu umurnya 6 bulan. Sebelum dia bisa ngasrod. Barusan dia mundur-mundur setengah miring. Kakinya sebelah dia angkat dan walah, dia duduk! Keyeeeeen...Anak ibu pinter. Mmuah, mmuah, mmmuaaach.


Blogger templates made by AllBlogTools.com

Back to TOP